Jejak Kecil dalam Perhelatan Akbar Tiga Negara: DSBK XVI 2025

DSBK XVI Samarinda, Kaltim

Ada yang istimewa setiap kali melangkah ke ruang yang diisi oleh perjumpaan, nasihat, dan ilmu. Apalagi jika ruang itu adalah peristiwa, bukan sekadar kata-kata. Seperti yang saya alami dalam Dialog Serantau Borneo-Kalimantan (DSBK) XVI 2025 yang digelar di Hotel Harris Samarinda, 17–20 Juni 2025 lalu. 

Saya bukan sastrawan, penulis pun masih sebatas cuap-cuap di blog, melempar artikel dan keroyokan dalam antologi. Tetapi, sungguh merasa istimewa sekali bisa hadir dalam perhelatan akbar ini. DSBK merupakan forum internasional para sastrawan dari tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Forum tiga negara ini sudah dimulai sejak 1987 dan terus berevolusi. Forum pertemuan yang digagas oleh GAPENA (Gabungan Persatuan Penulis Nasional) Malaysia ini awalnya bernama Dialog Borneo (1987) kemudian berubah menjadi Dialog Borneo-Kalimantan (1995) dan menjadi Dialog Serantau Borneo-Kalimantan (2023). DSBK yang membahas perkembangan bahasa, sastra, dan budaya di wilayah Borneo-Kalimantan ini diharapkan menjadi tempat untuk menelorkan ide-ide penguatan dan pemajuan serta mengukuhkan jalinan kerjasama bahasa, sastra, dan budaya di antara tiga negara. 

Hari Pertama. Selasa, 17 Juni 2025

Saya memulai perjalanan dari Balikpapan bersama Mbak Fitri Gita, rekan seperjalanan sekaligus teman sekamar nanti. Bus antar kota yang kami naiki melaju tenang, membuat perjalanan terasa mulus dan tanpa terasa selesai dalam waktu dua jam lebih sedikit saja. Samarinda menyambut kami dengan udara yang sedikit panas saat itu. Kami tiba sebelum jadwal check-in seharusnya, yakni pukul 13.30 WITA di Hotel Harris. Karena itu, setelah registrasi acara, kami tak bisa langsung masuk kamar. Waktu menunggu membuat kami harus mencari makan siang lebih dulu. Maka, dengan memesan kendaraan, kami menuju Big Mall Samarinda. Sempat ragu karena saya kira mall itu masih tutup karena insiden kebakaran beberapa waktu lalu. Tapi ternyata sudah pulih, dan bahkan lebih ramai dari yang saya bayangkan. Kami makan siang, sekalian ke ATM, lalu kembali ke hotel membawa tubuh yang agak lebih rileks. Mbak Fitri memesan es teh lebih banyak untuk persediaan sampai petang.

Begitu memasuki kamar, saya memberi jeda untuk membongkar barang, dan membongkar pula Welcome Kit yang diberikan panitia. Dua buku utama di dalamnya langsung mencuri perhatian kami. Buku yang pertama berjudul : Perbincangan: Sastra Melayu, Estetika, Didaktika—sebuah buku kajian sastra yang akan menjadi materi utama diskusi dalam dialog nanti. Sedangkan buku yang kedua membuat saya bertanya-tanya. Apakah ada nama saya di dalamnya? Buku itu judulnya: Jejak Perigi di Tanah Melayu: Antologi Puisi dari 3 Negara. Dan ya, dua puisi saya tercantum di sana. Nama saya terdaftar dalam karya yang menyeberangi batas negara. Ini pengalaman kecil yang membuat hati berbunga-bunga. Untuk masuk dalam antologi puisi tiga negara ini, saya sampai mengoleksi kata-kata klasik lebih dahulu. Rupanya, setelah mengintip karya puisi para peserta lain, yah tidak harus seperti itu juga sih.

Buku dalam DSBK XVI

Malam pembukaan berlangsung khidmat dan hangat. Para peserta diminta mengenakan busana melayu atau batik untuk hadir di Mahakam Ballroom hotel yang telah disulap menjadi ruang pertemuan istimewa.  Ini adalah kali kedua Kalimantan Timur menjadi tuan rumah DSBK setelah 2011. Tema tahun ini: Nusantara dan Penguatan Sastra Melayu: Merawat Estetika dan Didaktika,” dengan tagline : Sastra Memperkaya Jiwa, Sastra Memperkasa Bangsa.
Tema ini bukan sekadar slogan. Di tengah era yang serba visual dan cepat, membicarakan kembali fungsi estetika dan didaktika dalam sastra Melayu adalah usaha menjaga akar, sambil mengintip masa depan. Saya jadi teringat, bagaimana dalam banyak puisi dan hikayat Melayu, selalu ada pelajaran tersirat. Bahwa sastra bukan cuma tempat bermain indah kata, tapi juga petuah yang terbungkus estetika. Pembukaan acara dihadiri tamu-tamu istimewa, di antaranya Wakil Gubernur Kaltim H. Seno Aji yang secara resmi membuka acara, serta Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Syaifudian.

Setelah dipikir-pikir, beruntung juga Mbak Fitri sempat menyiapkan es teh yang cukup banyak. Mengingat kemeriahan malam pembukaan ini, suasananya malah membuat lekas haus. Yah, walaupun rasanya ini hanya bagian kecil dari peristiwa yang tidak terlalu penting untuk diceritakan.

Pembukaan DSBK XVI di Hotel Harris, Samarinda

DSBK XVI di Hotel Harris, Samarinda


Hari Kedua 

Hari kedua (18/6) dimulai dengan sarapan hotel yang diselingi obrolan bersama peserta lain. Selain saya dan Mbak Fitri yang berasal dari Balikpapan, ada pula Sophie Razak, Bu Norhayati dan Bu Yul, guru dari SMA 2, dan beberapa peserta dari Balikpapan yang baru saya temui di lokasi, seperti Annisa dan Amalia Rufidah. Saling sapa mengalir, situasi terekam dalam ingatan, sembari menikmati pemandangan Sungai Mahakam di depan restoran sambil berbagi pengalaman, sebelum akhirnya kami beranjak kembali ke Mahakam Ballroom untuk mengikuti seminar yang menjadi pengalaman inti dalam kegiatan ini.

Hotel Harris, Samarinda

Seminar dan dialog dibagi menjadi tiga sesi dan berlangsung hingga sore. Materi berasal dari buku Perbincangan: Sastra Melayu, Estetika, Didaktika yang sudah kami terima. Sesi perdana berasal dari pembentang kertas, Syafruddin Pernyata—sastrawan Kaltim, yang membahas syair Tarsul. Saya pun baru tahu syair ini pada beberapa tahun lalu, saat sedang menggarap tulisan budaya. Lalu Nurul Nabilah Zainal Abidin dari GAPENA Malaysia membawakan pembahasan tentang syair Bidasari dengan nada yang penuh cinta pada warisan budaya. Mereka yang memaparkan makalah disebut sebagai pembentang kertas. Awalnya, saya berpikir, memang kertas apa ya yang nantinya dibentang? Rupanya pembentang kertas bermakna presenter makalah atau narasumber. Di sela-sela materi diselingi pula pembacaan karya puisi dari peserta dan sastrawan. Saat penyampaian materi, saya mencatat beberapa kosakata klasik, melayu atau yang jarang didengar, seperti: perigi (KBBI; sumur/sumber air), hala (KBBI; arah), senteri (Melayu; santri), sahsiah (Melayu; kepribadian), ulum (Arab, jamak dari ilmu), nazam (KBBI; puisi dari Parsi), uluh (Dayak; orang atau manusia), merindas (Melayu; menekan), Isma Yatim (tokoh dalam hikayat).


Selain kedua narasumber tadi, ada pula Chairil Effendi dari MABM-KalBar. Hasan Aspahani, dari DKJ. Datuk Jasni Matlani (BAHASA, Malaysia), dan masih banyak pembentang lain dengan topik beragam. Topik yang membuat ruang dialog ini terasa hidup melintasi bahasa dan batas negara, dengan tetap satu dalam semangat sastra.

DSBK XVI Samarinda

Malam kedua ini merupakan malam penutupan. Dengan format sedikit lebih ringan dibanding sesi pembukaan. Penutupan dilakukan setelah mesyuarat khas atau pertemuan khusus dengan tim penyusun DSBK, serta maklumat penetapan lokasi DSBK selanjutnya. Pada malam penutupan, peserta tetap dihibur oleh pertunjukan seni dan tari melayu. Ada pantun, puisi, ada nyanyian, dan kebersamaan yang banyak dinanti peserta. Saya sempat kembali menyusuri sudut pameran buku dan buku yang dijual. Lagi-lagi dibuat sedikit terperanjat. Rupanya buku antologi: Salome dan Orang-orang Balikpapan, yang memuat tulisan saya dan teman-teman penulis Balikpapan, dipajang di antara karya-karya lain. Buku-buku lain yang memuat tulisan saya juga ada di pameran mini ini.

DSBK XVI di Hotel Harris, Samarinda

Pukul sepuluh malam, saya dan Mbak Fitri kembali ke kamar. Tapi bukannya tidur, kami malah mengobrol sampai larut. Entah karena semangat literasi yang belum habis, atau karena memang susah move on dari dua hari yang bergelut sastra. Obrolan malam kami bukan curhat persoalan pribadi, melainkan curhat tentang literasi: soal komunitas, acara, proyek menulis, dan segala mimpi yang belum selesai.

Hari Ketiga. Kamis, 19 Juli 2025. 

Hari ketiga datang dengan suara hujan. Sama sih seperti dua hari sebelumnya. Saya sempat ingin jalan pagi menyusuri tepi Sungai Mahakam. Lama sudah tidak merasakan atmosfer kota ini sejak lulus kuliah. Tapi niat tinggal niat. Toh, sarapan di hotel lebih memanggil daripada berhujan-hujan di luar. Agenda hari ketiga ini berbeda dari dua hari sebelumnya. Jujur saja, melihat jadwal hari ketiga sempat membuat saya sedikit muram. Hari ketiga adalah hari di mana para peserta dari luar Kalimantan Timur dijadwalkan melakukan muhibah budaya ke Tenggarong untuk mengunjungi Museum Mulawarman lalu menikmati perjalanan pulang dengan kapal di atas Sungai Mahakam. Sementara kami, peserta dari Kaltim, akan tetap di hotel untuk mengikuti sesi rembuk sastra. Padahal, belum tentu juga semua orang Kaltim pernah ke Museum Mulawarman atau menyusuri Sungai Mahakam, kan? Tapi ya, rasa kecewa itu hanya sebentar saja. Karena bisa hadir selama tiga hari penuh di acara sebesar ini sudah merupakan pengalaman istimewa. Lagipula, ehem, saya pribadi sebenarnya sudah pernah ke museum itu dan juga pernah berlayar di Mahakam. Memang dasarnya saya ini terlalu banyak maunya saja.

Ternyata rembuk sastra di hotel menyenangkan juga. Dipandu oleh Bang Chai Siswandi, diskusi yang awalnya beralur perlahan jadi berapi-api. Kami berdiskusi tentang penguatan sastra di Kaltim, penjaringan aspirasi, sampai parade karya. Aspirasi pun mengalir. Makin akhir makin banyak yang mulai angkat suara, dan entah kenapa, mayoritas dari Balikpapan. Saya sampai berpikir: Ini teman-teman Balikpapan kenapa ya? Gimana kalau kita bikin rembuk sastra versi lokal saja deh?

Setelah sesi rembuk sastra selesai, saya mulai kelelahan dan memilih beristirahat sejenak di kamar. Hari ketiga setelah sesi rembuk merupakan hari bebas, maka kami pun berencana ingin jalan-jalan. Dasarnya doyan jalan, tetapi tidak tahu mau ke mana, maka saya dan Mbak Fitri tetap saja di kamar sampai menjelang senja tiba. Setelah mengecek WA Grup, saya menyadari bahwa sebenarnya hari ini juga merupakan Pembukaan Pekan Kebudayaan Daerah (PKD). Padahal kunjungan ke PKD ini sempat tertera pada jadwal awal. Akhirnya saya mengirim pesan kepada beberapa teman untuk mengajak mereka sama-sama ke PKD di Stadion Segiri, Samarinda. Maka, setelah makan malam kami selaku rombongan cewek-cewek baru kenal tapi sudah merasa bestie ini pun lanjut memesan kendaraan dan cuss berangkat. Satu mobil isinya cewek-cewek yang terhibur banget bisa jalan-jalan. Beberapa baru kenal. Hari terakhir memang unik. Hari yang semestinya jadi ajang perpisahan, malah makin mengakrabkan peserta dan makin rela tidak berpisah. Kalau sudah begini, jadi ingin menambah hari kegiatan saja.

Setibanya di Stadion Segiri, kami menyempatkan berfoto di booth khusus, lalu mengelilingi booth-booth pameran budaya dan sejarah.

Pekan Kebudayaan Daerah Kaltim 2025

Ternyata pementasan malam itu luar biasa! Tari kolosal, daerah, musik, dan seni pertunjukan lain membuat penonton terpukau. Peserta DSBK XVI dari Malaysia pun turut berbagi puisi di panggung ini

Pekan Kebudayaan Daerah Kaltim 2025

Kami duduk lesehan, menonton dengan decak kagum dan tepuk tangan bahagia. Selepas pembukaan, kami kembali berfoto di booth, tak peduli meski sebenarnya awal kedatangan sudah sempat berfoto. Tapi, ya gimana, kapan lagi bisa berkumpul dan bisa sesenang ini? Saat di perjalanan pulang yang penuh tawa, masing-masing berjanji untuk berkumpul kembali esok pada pukul 7 pagi.

Pekan Kebudayaan Daerah Kaltim 2025

Tanggal 20 Juni, Hari Terakhir

Sayangnya pukul 7 pagi, saya dan Mbak Fitri masih santai di kamar. Ternyata jalan-jalan semalam bikin badan pegal juga. Usia sudah mencolek-colek untuk sadar.  Saya dan Mbak Fitri masih mager di kamar. Tapi, ada satu agenda terakhir yang kami rencanakan sebelum benar-benar pulang ke Balikpapan. Setelah resmi check-out dari hotel, saya, Mbak Fitri, dan Mbak Sophie melanjutkan niat kami untuk bertemu dua kawan di sebuah kafe. Mereka adalah Andria Septy, penulis buku puisi Tata Laras Gema Rima, dan Nella, seorang dosen. Lagi dan lagi, obrolan kami kembali berputar di seputar dunia literasi, tentang komunitas, dan ide-ide pergerakan yang menyertainya. Percakapan hangat itu pun memperkenalkan kami, meski sepintas saja, pada komunitas Akar Kuning Samarinda. Rasanya, perjalanan DSBK kali ini benar-benar menyemai semangat baru dalam diri, bahkan sampai di kafe kecil ini pun, kami masih saja larut membahas ide-ide untuk mengembangkan literasi. Semacam bekal mini untuk dibawa pulang nanti.


Selanjutnya tiada kata lain, selain kami harus pulang ke Balikpapan, dan kembali menekuni rutinitas yang sama. Sebuah buku kumpulan cerita pendek, berjudul: "Perjumpaan di Candi Prambanan" karya Sunaryo Broto, yang juga merupakan salah seorang peserta dari DSBK XVI, menemani perjalanan pulang saya dalam bus. Kepala saya dipenuhi inspirasi, memikirkan mana yang benar-benar bisa saya perbuat setelah tiba di kota nanti. Entah inspirasi mana yang dapat disalurkan atau akhirnya hanya akan dipendam kembali. 

Dua tahun lagi, DSBK XVII akan digelar di Kalimantan Selatan. Kalau ada takdir yang baik, saya ingin kembali duduk di antara para karyawan sastra itu. Kembali menjaring estetika, memintal didaktika. Menemukan kata yang menghasilkan makna. Kembali mencatat kisah-kisah yang layak diingat selamanya.

Kalau ditanya apakah saya akan ikut lagi? 
Aamiin. Tentu, saya ingin sekali kembali. Doakan.

0 Comments