(sumber : IG Griya Schizofren) |
Mengurai Riuh Dalam Diri, Mengurai Stigma di Masyarakat
“Ada gemuruh yang tak pernah sunyi, meski dunia di luar senantiasa tenang. Ada lintasan suara, bayangan yang datang tanpa diundang, memeluk, membisikkan rahasia, lalu pergi begitu saja. Mereka bilang ini gangguan, namun ini adalah semesta dalam diri. Dekat, akrab, tetapi menakutkan.”
Begitulah rasa yang dialami para penderita skizofrenia, mereka yang hidup di antara dua peraduan; satu yang nyata dan satu yang hanya mereka yang dapat melihatnya. Skizofrenia, sebuah nama yang terdengar nyentrik, sekaligus menyimpan misteri.
Kata skizofrenia berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani: "schizo", yang berarti "memisahkan" atau "memecah," dan "phrenia", yang berarti "pikiran" atau "jiwa." Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikiater Swiss, Profesor Paul Eugen Bleuler, pada tanggal 24 April 1908, ketika Profesor Bleuler memberikan kuliah di sebuah pertemuan Asosiasi Psikiatri Jerman di Berlin. Prof. Bleuler percaya bahwa penderita skizofrenia mengalami "pemisahan" dalam proses pikirannya, yakni ketidakmampuan untuk mengintegrasikan pikiran, emosi, dan perilaku dengan baik, yang merefleksikan pengalaman seseorang yang hidup dalam dunia di mana realitas dan ilusi sering kali saling bertabrakan, sehingga menciptakan gambaran yang rumit dan membingungkan mengenai kondisi mental mereka. Sejak saat itu, skizofrenia telah menjadi istilah yang digunakan secara luas dalam dunia psikiatri untuk menggambarkan sekumpulan gejala yang berkaitan dengan gangguan mental yang serius.
Selain skizofrenia, gangguan mental lainnya seperti depresi, bipolar, atau kecemasan berat, juga mencerminkan pergulatan batin yang sering kali tersembunyi dari pandangan publik. Gangguan-gangguan ini berakar dari ketidakseimbangan kimiawi, pengalaman hidup yang traumatis, atau faktor genetik, yang semuanya berperan dalam membentuk kondisi mental seseorang. Penyebabnya multifaktor dan tidak berdisi sendiri. Bagi Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) atau para penyintasnya, hal ini lebih dari sekadar gangguan, yakni tantangan untuk memahami diri di tengah arus pikiran yang tak selalu dapat dikendalikan. Tantangan bagi mereka untuk mengurai riuh dalam diri, agar terbentuk damai alami.
Pelita Harapan untuk Jiwa
Merujuk pada WHO (World Health Organization), 1 dari 300 manusia (0,32%) di seluruh dunia mengalami skizofrenia. Angka ini dipecah lagi menjadi 1 dari 222 orang (0,45%) di antaranya merupakan orang dewasa. Sementara data yang mengejutkan, datang dari Indonesia. Jika merujuk pada hasil Disability Adjusted Life Years (DALYs) menyebutkan bahwa Indonesia menduduki peringkat nomor satu dunia dengan jumlah pasien skizofrenia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, diperkirakan sekitar 450 ribu masyarakat Indonesia merupakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat. Sepanjang 2024, Jakarta memegang peringkat tertinggi dari banyaknya pasien skizofrenia yang diopname. Data dari Dinas Kesehatan Jakarta mencatat Orang Dengan Skizofrenia (ODS) jumlahnya lebih banyak dibanding pasien diare, pneumonia, diabetes, juga DBD. Pada 2023, DI Yogyakarta menjadi provinsi dengan prevalensi psikosis/skizofrenia tertinggi nasional, yakni mencapai 9,3 permil rumah tangga (per 1000 rumah tangga). Secara nasional, prevalensi rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga dengan gejala psikosis/skizofrenia secara nasional mencapai 4 permil yang berarti dari setiap 1.000 rumah tangga, ada 4 rumah tangga yang salah satu keluarganya mengalami gangguan jiwa tersebut.
Di tengah masyarakat, kurangnya edukasi menyebabkan anggapan bahwa masalah kejiwaan sebagai sesuatu yang tabu untuk dibahas tuntas. Maka, tumbuh stigma pada para ODMK sebagai pribadi yang rapuh, tak dapat diandalkan, aneh, bahkan berbahaya. Akibat dari stigma ini, ODMK kerap diperlakukan dengan jarak yang melemahkan mereka secara sosial maupun emosional. Banyak orang yang belum memahami bahwa masalah kejiwaan dan gangguan mental membutuhkan empati dan dukungan, bukan rasa takut atau penolakan.
Di sisi lain, keluarga yang tinggal bersama ODMK, sering kali berada di persimpangan: antara keinginan untuk melindungi dan beban yang berat. Ada keluarga yang mendampingi dengan penuh kasih dan ketulusan, berjuang bersama dalam menghadapi setiap tantangan mental yang muncul. Namun, tak sedikit juga yang merasa terbebani, tak paham, atau bahkan menyerah, membuat para ODMK menjadi semakin terasing di lingkungan yang seharusnya memberi rasa aman.
Kurangnya pemahaman ini kerap memupuk stereotip dan bias negatif yang mengalienasi para penderita. Di tengah pengasingan ini, muncul perempuan inspiratif yang melawan arus stigma, berupaya mengedukasi dan menumbuhkan kesadaran bahwa di balik diagnosis, ada martabat dan kebutuhan untuk diperlakukan manusiawi. Inilah yang dilakukan Triana Rahmawati, penggagas Griya Schizofren, dalam misinya meruntuhkan sekat-sekat prasangka.
Triana Rahmawati, Penggagas Griya Schizofren
Triana Rahmawati, seorang social enterpreneur lulusan S2 Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Perempuan kelahiran Palembang yang saat itu menjadi mahasiswi ilmu Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret (UNS), tengah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa-Pengabdian Masyarakat (PKM-PM) dengan pendekatan Ilmu Sosiologi terkait dengan ODMK. Triana dan kawan-kawannya saat itu mengabdi di Griya PMI, dan memprakarsai pendampingan ODMK. Mereka membawa orang-orang dengan masalah kejiwaan yang ada di jalanan untuk dirawat di tempat tersebut. Orang-orang tersebut kemudian diajak bernyanyi oleh Triana. Tindakan yang terdengar biasa, tetapi berkesan ini ia lakukan untuk membangun interaksi sosial, memanusiakan manusia, sebutnya. Kegiatan yang semula berjalan sejak 2012 ini terus bergulir hingga Triana dan kawannya, Febrianti Dwi Lestari dan Wulandari membentuk tim volunteer yang menjadi cikal bakal Griya Schizofren. Ide ini ternyata mendapat pendanaan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), yang mengangkat komunitas Griya Schizofren akhirnya bisa berdiri.
Menilik dari kata Schizofren, mungkin mengira namanya sekadar diambil dari ‘schizophrenia’, tetapi Griya Schizofren milik Triana merupakan akronim dari ‘sc’ (social), hi’ (humanity),’zo’ (zona) ‘fren’ (friendly). Karena pada akhirnya komunitas ini memang tidak hanya dikhususkan untuk para penderita skizofrenia. Singkatnya, Griya Schizofren dimaknai sebagai rumah persahabatan bagi nilai-nilai kemanusiaan untuk tumbuh dan berkembang. Lebih luas, Griya Schizofern berdiri sebagai tempat perlindungan bagi mereka yang mengalami gangguan kejiwaan (ODMK), hingga berkembang menjadi social enterprise yang inklusif. Dengan semangat yang menyala, Kak Triana c.s. berjuang untuk membangkitkan kesadaran masyarakat, agar mereka dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan para penyandang masalah kejiwaan.
Dedikasi Triana Rahmawati ini pun membuahkan penghargaan SATU Indonesia Awards pada tahun 2017 untuk kategori individu bidang kesehatan. Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards adalah apresiasi yang diberikan oleh PT Astra International Tbk, untuk generasi muda yang memberikan kontribusi positif bagi masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi. Serta mereka yang berkolaborasi dengan program unggulan Kampung Berseri Astra (KBA) dan Desa Sejahtera Astra (DSA).
Triana Rahmawati, penerima SATU Indonesia Awards (sumber :https://www.astra.co.id/satu-indonesia-awards) |
Berkat penghargaan tersebut, perempuan yang memang sejak kuliah menyukai kegiatan volunteer ini terus melanjutkan pengembangan Griya Schizofren dengan kekuatan bisnis social enterprise sesuai yang diemban komunitas. Dorongan Triana untuk mampu menggerakkan komunitas bukan hanya muncul karena bidang keilmuan yang ditekuni, melainkan juga karena upaya dan kebiasaan yang dilakukannya. Bagi Triana, uang yang ia peroleh (baik beasiswa, apresiasi, dan pendapatan lain) seharusnya dikembalikan kepada masyarakat atau digunakan untuk mendukung perkembangan intelektual. Ia menekankan pentingnya menghindari konsumsi berlebihan atau pengeluaran untuk barang-barang materialistis, agar dapat menjaga amanah dan memberi dampak positif bagi banyak orang.
Triana Rahmawati, dosen Sosiologi UNS, dan telah menjadi Ibu Rumah Tangga, juga selaku founder Happiness Family Scholarship ini, kerap membagikan cerita kehidupannya, kegiatan-kegiatannya, dan tips kesehatan mental melalu melalui instagramnya di @uleetria
Cinta, Dukungan, dan Memanusiakan Manusia Sebagai Kunci
#UbahStigma dengan interaksi sosial pada masyarakat dengan masalah kejiwaan, menjadi tagline Griya Schizofren yang digagas Triana Rahmawati. Griya Schizofren hadir sebagai wadah yang dapat memfasilitasi kelebihan-kelebihan para ODMK, yang sering kali termarjinalkan, terputus karena stigma di masyarakat.
Prinsip dasar bagi Triana ketika membangun Griya Schizofren adalah menerapkan interaksi sebagai manusia, tanpa berpikir mereka berbeda dan bisa memanusiakan tanpa reaksi dan aksi yang berbeda pula. Menurut Triana, stigma ini bisa dikurangi ketika terjadi interaksi sosial, pertukaran informasi, dan masyarakat memiliki hubungan yang baik dengan para ODMK. Inilah yang menjadi visi tindak berkelanjutannya di mana para ODMK dan masyarakat semestinya memiliki akses informasi yang terbuka agar para ODMK dikenal dan masyarakat mengetahui informasi yang utuh tentang mereka, bukan hanya sepotong-potong.
Poster Kegiatan Griya Schizofren (sumber : IG @griya.schizofren) |
Griya Schizofren menerapkan seni dan kreativitas sebagai pilar terapi sekaligus sebagai pemberdayaan ekonomi. Salah satu kegiatan di Griya Schizofren adalah menggambar. Kegiatan yang terlihat sederhana, sangat berguna bagi para ODMK untuk bisa mengaktualisasikan diri mereka lewat karya, bertutur lewat gambar tentang apa mereka alami dan rasakan. Karya mereka bisa mengarah pada kesejahteraan ekonomi yang menghasilkan. Hal ini menghubungkan kebahagiaan pula pada keluarga yang memiliki anggota keluarga ODMK. Selain aspek terapi, Griya Schizofren juga menerapkan kehidupan sehat pada para ODMK, dengan rutin berbagi buah, berolahraga, dan melakukan aksi positif kesehatan lainnya.
Kegiatan Griya Schizofren (sumber : IG @griya.schizofren) |
Selain itu, sistem dan dukungan sosial yang kuat sangat berperan bagi kemajuan para ODMK. Bagaimana mereka merasa diterima sebagai manusia yang utuh, tak lepas dari edukasi yang diberikan pada keluarga dan masyarakat secara umum. Sistem dukungan sosial yang kuat, seperti interaksi dalam keluarga mampu berperan sebagai pelindung bagi individu dari dampak negatif stres dan krisis. Dengan dukungan yang penuh pemahaman, keluarga dapat menjadi jangkar yang menguatkan. Kehadiran lingkungan yang mendukung ini memungkinkan ODMK untuk merasakan penerimaan, mengurangi rasa keterasingan, dan membangun keseimbangan kehidupan yang lebih kuat.
Upaya Griya Schizofren ini merupakan kontribusi pada keberlanjutan kesehatan mental tentang pentingnya inklusi dan dukungan bagi ODMK dalam mencapai pemulihan jangka panjang. Peran Griya Schizofren dan dukungan publik menjadi elemen penting dalam menjaga kesehatan jiwa agar tidak hanya pulih, tetapi berkembang secara berkesinambungan di keluarga dan masyarakat. Lewat edukasi media sosial, jejaring, sampai pada baksos, menjadi gerak Griya Schizofren dalam ajakannya bersama publik. Mengajak kita untuk mengubah cara pandang agar menyadari bahwa skizofrenia dan ODMK hanyalah bagian dari spektrum kesehatan jiwa, dengan memberikan ruang untuk empati, serta menciptakan lingkungan di mana masalah kejiwaan diterima sebagai bagian alami dari keragaman pengalaman manusia.
**
1. https://w3. ww.who.int/news-room/fact-sheets/detail/schizophrenia
2. https://journal.unisa-bandung.ac.id/
3. https://pmc.ncbi.nlm.nih.gov/articles/PMC3339235/
4. https://www.instagram.com/griya.schizofren/
5. https://anugerahpewartaastra.satu-indonesia.com/2023/artikel/4186/
6. https://www.youtube.com/watch?v=v9FmGZwM8nU
7. https://www.instagram.com/griya.schizofren/
#LFAAPADETIK2024
#LFAAPADETIK2024
0 Comments
Hai, bila tidak memiliki link blog, bisa menggunakan link media sosial untuk berkomentar. Terima kasih.