MOM WAR : Topik, Pemantik, dan Trik Menghindar



Sejujurnya saya tidak banyak menyimak Episode Mom War di awal kemunculan istilahnya di dunia maya. Maksudnya, setiap kali membaca status atau tulisan-tulisan yang dibagikan di beranda sosial media, saya hanya berpikir, “oke, itu opininya si Anu, dan itu pendapat si Inu.” Sudah hanya sebegitu saja, tanpa perlu ikut memperdebatkannya. Saya juga jarang bersinggungan dengan facebook yang konon medsos no.1 penyebab permusuhan.  Konon.
Ketika saya membaca sebuah tulisan terang-terangan STOP MOM WAR hingga berkali-kali, maka reaksi saya pun :
“oh, lagi perang ya. Emang perang apa?”
*tutupmuka*   *nggakpeka*

Sampai ada sebuah tulisan lain yang menyebutkan ‘perempuan senang menyakiti perempuan lainnya’. Lambat-lambat saya pikir “eh, iya juga ya, ada benernya nih.”
Kemudian saya menyangkutpautkan dengan beberapa kejadian yang saya alami dan amati.

Di dunia nyata sendiri, saya tidak terlepas dari Mom War. Ada Ibu bekerja, diomongin habis-habisan di kampung, karena anaknya yang bla bla bla. Akhirnya si Ibu bekerja jadi malas berkumpul-kumpul lagi. Ada yang memilih untuk tidak mengajarkan anak calistung sebelum waktunya, dibilang bodoh banget, ntar gimana anaknya masuk sekolah. Ada yang men-homeschooling-kan anaknya, dibilang ‘orang kaya kok gak bisa masukin anak sekolah. Apa gunanya kaya.’ 
Dan rata-rata yang ngomong itu ibu-ibu juga :)

Sementara itu, saya mencatat beberapa hal yang sering sekali menjadi perdebatan emak-emak kontemporer :
  • ASI VS SUFOR
  • IRT VS Working Mom
  • Melahirkan Normal VS Caesar
  • Vaksin VS Antivaksin
  • Gadget untuk anak VS No-Gadget untuk anak
  • Calistung untuk balita
  • Poligami VS Monogami (aja) 

Meski ada beberapa lagi, tapi yang melekat kuat, yang ramai dibahas menurut pengamatan saya, ya topik-topik di atas.



Saya juga mencatatat mengapa bisa terjadi MOM WAR. Setidaknya ini menurut saya:

1. BEREAKSI TERLALU CEPAT
Jangan-jangan kita hanya membaca dari sebuah status. Jangan-jangan kita hanya tahu dari sebuah artikel. Jangan-jangan kita hanya melihat dari sebuah sisi. Jangan-jangan kita hanya membaca satu kali saja, sehingga kurang meresapi. Jangan-jangan kita hanya mau mendengarkan dari satu pihak saja. Jangan-jangan ....
Mungkin maksud si penyampai tidaklah demikian, tidak ada niat mengajak ‘perang’ namun kita bereaksi terlalu cepat.

2. EKSPRESI
Suatu hari saya  dipanggil tetangga yang saya kira penting banget dan ternyata mau berkata : “eh...mbak kamu diomongin tetangga yang itu.”
Oya? Tanya saya balik.
Lalu si Ibu ini mencondongkan wajahnya dan ekspresinya berbinar-binar.
“Katanya rumahku.... jangan kayak rumahmu. Rumahmu rumputnya tinggi-tinggi”.
Dan saya tertawa lebar. Saya punya alasannya, tapi saya pikir tidak semua hal mesti saya konfirmasi ini-itu ke semua orang. Dan akhirnya saya cuma bilang, “nggak apa-apa mbak.” Mungkin reaksi saya kurang pas bagi dirinya, sehingga si Ibu ini ngotot luar biasa, sampai menceritakan yang tidak perlu tentang si tetangga lain itu. Saya bingung, bukankah seharusnya saya yang marah dan dia seharusnya rileks saja?

Reaksi saya dan ekspresi si Ibu bagai gayung tak bersambut dan ini sering terjadi di sekitar kita. Kalau kejadian ini saya ladeni, bisa-bisa akan tercipta WAR baru dan topik WAR akan bertambah : Rumput tinggi VS rumput pendek VS antirumput.

Di dunia maya, sering terjadi kegagalan menciptakan ekspresi. Sebuah tulisan/status memang tidak memperlihatkan raut wajah seseorang, tapi pembacalah yang menciptakan. Ketika pembaca gagal ‘membaca emosi’ dari si penulis, maka yang terjadi ya pertikaian dan perdebatan yang tidak berguna,


3. OPINI PLUS MENGHAKIMI
Saya pernah membaca tentang satu topik WAR yang dibahas sangat ilmiah dan bagus banget. Namun, di beberapa bagian terselip tuduhan-tuduhan, nyinyiran, dan ketidaksukaan terhadap emak-emak sebelah ((emak-emak sebelah, apa coba)) dengan bahasa yang provokatif. Walhasil reaksi yang terjadi, para Ibu yang memang tidak sepakat akan bertambah tidak sepakat dan saling membenci.

4. PILIHAN KATA YANG KURANG PAS
Dari beberapa topik MOM WAR yang saya baca dan menimbulkan perdebatan, memang pilihan kata yang digunakan kurang pas, sehingga memicu keramaian.
Tapi, toh saya pikir lagi, siapa sih dari kita yang sudah sempurna dalam menulis?

Nah, itulah beberapa pemantik MOM WAR hasil pengamatan saya pribadi.
Tentu saja versi kita bisa berbeda.


Lalu, bagaimana cara saya menghindari MOM WAR ? Setidaknya mencegah WAR dari dalam diri saya sendiri :

1. BACA DUA, TIGA, EMPAT, LIMA KALI
Hal yang saya lakukan ketika menemukan artikel-artikel yang bisa memicu WAR, maka : tidak saya baca sama sekali atau baca dua kali, tiga, empat, lima sampai saya bisa masuk dan menempatkan diri sebagai penulis. Saya bisa merasakan posisinya, saya paham kondisinya. Dan akhirnya walaupun kita berbeda, nggak ada masalah.
Atau ada kondisi ketika saya membaca tulisan, terselip kata-kata : “biasanya,” “jarang ada”, atau  “yang pernah saya temukan...” artinya penulis sedang menilai dari sisi yang pernah dia amati. Toh, kita tidak bisa utuh-sempurna mengamati sesuatu bukan.
Lagipula, kalau saya baca berulang-ulang, ujung-ujungnya sudah capek sendiri untuk menanggapi. :D

2. TEMAN YANG BERAGAM
Saya punya teman pro ASI, saya punya teman yang anaknya diberi SUFOR. Saya punya teman yang berpoligami, dan banyak teman yang cinta monogami. Saya punya teman yang tidak mau masak pakai MSG, ada juga teman yang jika masak tidak lengkap tanpa MSG. Saya punya teman penjual obat-obatan herbal, dan saya punya keluarga yang buka Apotek kimia.  Saya punya teman dengan tiga anak lahir normal dan teman-teman saya yang lain ada juga yang harus caesar. Ada teman yang pro vaksin dan ada juga yang antivaksin. Macam-macam. Beragam.
Semua perempuan punya alasannya masing-masing.

3. DIAM SAJA, SENYUMIN
Jujur, di bagian ini tidak mudah. Ada momen-momen dimana saya mesti menghadapi emak-emak yang berapi-api, senang memancing. Sudah diam, tenang, kemudian ‘dipaksa’ berdebat. Salah satu cara, mesti latihan. Tarik napas, keluarin pelan-pelan, begitu seterusnya. Alihkan pembicaraan jika sanggup, daripada debat bekepanjangan. Ajak becanda dan senyum.
Tapi, entahlah, apakah trik ini berguna atau bisa diterapkan merata, saya tidak tahu. LOL

4. DENGARKAN, MUNGKIN DIA YANG BUTUH CURHAT
Ya, mungkin emak-emak yang saya hadapi sedang butuh curhat. Hanya saja mengeluarkan di waktu yang kurang kondusif dan dengan bahasa yang provokatif.
Lagipula bukankah perempuan itu lebih banyak mengeluarkan kata-kata dibanding laki-laki? Apalagi kalau perempuan ini seorang Ibu.

5. SALING MENDOAKAN
“Lho anakmu yang masih balita itu sudah kamu kasih XXX ? Itu kan khusus kuda nil! Nanti anakmu jadi kuda nil, bibirnya monyong, kepalanya bertanduk segitiga, baru nanti kamu tahu rasa!”
Kalimat di atas hanyalah contoh, karena belum ada kuda nil yang bertanduk segitiga. Tapi, saya yakin kita pernah menjumpai orang-orang seperti ini, yang membahas sesuatu, merembetnya bisa kemana-mana. Dan itu bisa nyelekit banget.
Atau malah jangan-jangan, kita juga termasuk orang-orang seperti itu.
Maka, hendaknya fokus kepada apa yang mau disampaikan, tanpa merendahkan dan nyinyir kemana-mana.  Karena ucapan itu bisa mengandung DOA.
Untuk apa mendoakan keburukan bagi keluarga dan anak-anak si Ibu?



Bagaimana pun, saya punya pemikiran sendiri, dan saya menganggap semua Ibu tentu punya pilihannya masing-masing, hidup kita berbeda, cara pandang kita tidak sama, apa yang kita derita dan rasakan berlainan, karena karakter kita pun tidak serupa. Tetap berusaha untuk saling mendukung, meski pilihan Ibu berbeda, karena seorang Ibu adalah pejuang bagi anak-anaknya.
——————————————————

Salam.
Lidha Maul

^^Tulisan ini merupakan tanggapan atas artikel berjudul : Stop Mom War, Dimulai dari Diri Sendiri yang ditulis oleh Mak Indrinoor dalam #KEBloggingCollab^^



16 Comments

  1. Kalau saya sekarang berusaha menahan diri untuk tidak berkomentar atas hal-hal yang tidak sama dengan saya sih, mbak buat menghindari momwar. Heu

    ReplyDelete
  2. Bener ya pemilihan kata yg kurang tepat juga Dan ternyata benar cm kesalahn opini plus menghakimi kaya mom tulis diatas 😁. Aku jg usahain tahan diri ga mau usil klo ada stst yg menyinggung dan memicu keributan atau lgsg delete friend. 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi saya sendiri pun masih jelek pemilihan kata-nya mbak

      Delete
  3. Praktekiiinnn semua cara menghindari mom war. Bikin lelah bgd soalnya. Makasih ya mbk lid

    ReplyDelete
  4. Hallo mbak salam kenal. Aku baca ini langsung ngena banget, karena sifat kita cenderung sama: cuek. Cuek cuek enggak peka itu mbak. Hehehe.

    Aku suka tipsnya untuk menghindari Mom War. Salah satunya ya kita yang harus berpositif thinking, siapa tahu mereka cuma butuh tempat curhat. Hihihi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Saya juga jarang bikin status mbak. Jadi, pas buka sering gak nyambung

      Delete
  5. Jadi inget ilustrasi serial abunawas yg tentang dua orang dengan keledainya. Dr sudut pandang manapun serba salah. Begitu juga mom war, 2 kubu udah merasa benar sendiri dengan segala bukti.

    Boleh sih ngasih tau, berbagi informasi, tetapi tidak boleh menghakimi.

    Khawatirnya jadi baby blues ga sih? Hehe

    ReplyDelete
  6. Rumput tinggi vs rumput pendek vs antirumput << ini bikin ngakak

    Rumahku yg gak ada tempat buat rumput berarti masuk kategori baru ya mbak? 😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hahahaha...
      kita berlawanan berarti mbak, akankah kita war...? jreng...jreng *pegang rumput*

      Delete
  7. Wah, baru tau saya ternyata ada war seperti ini. padahal cuma beda perspective saya ya. saya rasa semuanya sama, pasti ada plus minus untuk masing-masing.. tapi kadang emosi memang susah dikendalikan hehe

    ReplyDelete
  8. semoga kita bisa saling mendoakan ya mak. Topik ini emang bener-bener bikin nyesek kalau keingetan jaman itu.

    ReplyDelete
  9. Cerita kita hampir sama.

    Waktu jadi karyawan kantor, aku juga sempat tak tahu ternyata ada mom war seperti itu, hahaha.
    Sampai rumah sudah capai dan fokus sama aktivitas sebagai istri dan ibu ^^.

    Aku malah tahu beberapa tahun kemudian setelah aktif di sosial media.
    Sama seperti mba, aku memilih tidak ikut berpolemik. Pengamat saja.

    Intinya, tidak ada manusia yang sempurna. Kesempurnaan hanya milik Sang Maha Pencipta.

    Aku malah suka membandingkan dengan junjungan kita Muhammad SAW saja yang tak punya dosa saja, bisa 'disirikin', konon pula aku yang jauuuuh dari sempurna.

    'Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu' ^^

    Mending waktu digunakan untuk yang lebih bermanfaat misalnya dengan menciptakan peluang dari blog, eh, gimana ^^.

    ReplyDelete

Hai, bila tidak memiliki link blog, bisa menggunakan link media sosial untuk berkomentar. Terima kasih.