Balikpapan Writers Forum (BWF) kembali menyelenggarakan Inkubasi Menulis Cerpen Balikpapan 2025, yang menjadi bagian dari rangkaian Parade Buku Balikpapan 2025. Pada tahun ini, inkubasi mengusung tema “Balikpapan Tempo Dulu (1800–1970)”, sebuah rentang sejarah yang diangkat untuk menggugah minat para penulis lokal dalam mengeksplorasi jejak kota, tentang bagaimana wajah kota, kisah orang-orangnya, dan peristiwa yang membentuk Balikpapan dapat kembali hidup lewat cerita pendek.
Pertemuan tatap muka perdana ini digelar setelah sebelumnya peserta menjalani proses bimbingan daring bersama para editor. Kegiatan berlangsung di Perpustakaan Bank Indonesia Balikpapan, Jl. Jenderal Sudirman No. 20, Klandasan Ulu, Balikpapan Kota, dan dihadiri delapan dari dua belas peserta yang lolos seleksi, yakni: Hendy Liem, Royyan Fadh, Herry Trunajaya, Umi Chabibah, Rustiah, Eka Sulis, Alya, dan Puput Nofia. Dari jajaran penyelenggara hadir Fitri Andriani (Ketua BWF), Rahmayanti (Sekretaris BWF), Annisa Vira (Bendahara BWF), Farah Via (Ketua Parade Buku Balikpapan 2025), Lidha Maul (Sekretaris Parade Buku Balikpapan 2025), Norhayati (Penulis, Tim BWF), Luluk Lee (Penulis, Tim BWF), serta Siti Fatimah (Tim BWF). Sementara dari Perpustakaan BI Balikpapan diwakili oleh Sabina.
Peserta dan Tantangan Tema
Sama seperti pada tahun lalu, peserta inkubasi tahun ini datang dari latar belakang yang beragam. Sebagian di antaranya pernah mengikuti program serupa pada tahun sebelumnya, seperti Rustiah, Eka Sulis Anjarwati, dan Deris Arista Saputra (yang kali ini berhalangan hadir). Inkubasi ini diikuti pula penulis berpengalaman, Herry Trunajaya, seorang penulis lokal yang terkenal, pegiat seni, sekaligus mantan wartawan. Dari kalangan kreator muda, terdapat Puput Nofia yang aktif sebagai blogger dan ilustrator. Wajah baru juga turut meramaikan, di antaranya Alya yang tengah merintis dunia kepenulisan, serta Umi Chabibah yang hadir dengan latar akademisi melalui profesinya sebagai guru.
Para peserta menuturkan alasan keterlibatan mereka dalam program inkubasi, sebagian besar berkaitan dengan tantangan tema yang menyertainya. Tema tahun ini, yakni lini masa waktu 1800–1970 di Balikpapan, dipandang menarik sekaligus menantang. Periode sejarah tersebut dinilai jarang tersentuh, baik dalam diskusi publik maupun di media sosial, sehingga menuntut penggalian sumber yang lebih mendalam baik melalui jurnal, buku, maupun kunjungan ke situs bersejarah. Keberagaman riset dari para peserta ini menghadirkan dinamika tersendiri dalam proses menulis. Selain tema dan beban riset, peserta juga mengakui adanya tantangan menarik lain, khususnya bagi yang terbiasa menulis nonfiksi dan kini beralih ke fiksi. Penulisan nonfiksi dinilai terikat pada pakem, sementara fiksi menuntut kebebasan dan tantangan berimajinasi.
Dalam sesi perkenalan, para peserta tidak hanya menyampaikan motivasi mengikuti inkubasi. Mereka juga memaparkan topik cerita yang mereka pilih untuk dikembangkan. Mereka pun menyampaikan apresiasi kepada Balikpapan Writers Forum (BWF) atas terselenggaranya kegiatan ini, serta rasa syukur karena terpilih menjadi bagian dari program inkubasi.
Catatan Tim Editor
Empat dari lima editor inkubasi yang ditunjuk hadir dalam pertemuan ini, yakni Fitri Andriani, Rahmayanti, Annisa Vira, dan Lidha Maul. Sementara Nonny Vinna berhalangan hadir.
Dalam evaluasinya, Fitri Andriani menyebut sejumlah naskah tidak lolos seleksi karena tidak sesuai tema lini masa yang ditentukan. Ada naskah yang melompat dari masa kini ke masa lampau tanpa keterkaitan yang jelas. Peserta yang terpilih dinilai sudah sejalan dengan tema meskipun masih menyimpan kelemahan teknis yang akan dibimbing selama proses inkubasi.
Harapan yang besar ketika tema sejarah yang dipilih adalah para peserta mampu memperluas jangkauan cerita dan bukan hanya terfokus mengulang catatan besar yang sudah banyak diketahui, seperti penemuan sumur Mathilda, kedatangan Belanda, atau pendudukan Jepang. Karena ruang penggalian tema sebenarnya masih sangat banyak. Harapan lain juga para penulis mampu untuk menggali detail kecil yang jarang dikulik atau bahkan mungkin terlupa untuk diungkit. Mungkin saja itu kisah keberadaan Suku Balik, kedatangan perantau dari Jawa, Sulawesi, dan Banjar, atau cakupan wilayah Balikpapan di masa lalu yang jauh lebih luas dari yang dipahami kini. Misalnya saja, ternyata cukup banyak generasi masa kini tidak mengetahui betapa luasnya Balikpapan tempo dulu.
Selain isi cerita, aspek teknis penulisan juga menjadi perhatian. Fiksi memang memberi keleluasaan berimajinasi, tetapi tetap harus logis dan taat pada pedoman bahasa. Fitri mencontohkan sebuah kekeliruan sederhana: misalnya, kisah yang berlatar masa penemuan sumur Mathilda justru menghadirkan tokoh yang menggunakan handphone. Situasi semacam ini jelas melunturkan logika cerita. Ia juga menyebutkan, meskipun fiksi bersifat lentur dan menimbulkan berbagai kemungkinan, penulis tetap perlu memberikan penjelasan yang rasional. Dalam contoh tersebut, penggunaan handphone bisa saja diterima apabila tokoh dikisahkan berasal dari masa depan. Dengan demikian, fiksi tetap dituntut berpaut dengan logika agar cerita tidak kehilangan daya percaya. Selain logika, penulisan fiksi juga harus menerapkan pedoman dan kaidah bahasa, seperti KBBI dan PUEBI. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa baik penulisan nonfiksi maupun fiksi memiliki pakem (aturan, pedoman) masing-masing, meskipun bentuk dan tingkat kelenturannya berbeda.
Hal lain yang turut menjadi sorotan adalah bagaimana penulis ingin menyampaikan informasi dan cerita yang begitu banyak (dalam ruang kalimat atau paragraf yang sama) sehingga kerap menghilangkan daya runutnya. Ini dipahami karena para penulis ingin membagikan informasi yang dimiliki kepada pembaca. Namun, penggunaan struktur bertele-tele dapat menyebabkan tulisan menjadi rumit dibaca dan menimbulkan ketidaknyamanan. Saran untuk mengatasinya adalah dengan penggunaan kalimat efektif serta perbaikan struktur yang memperhatikan unsur SPOK (Subjek Predikat Objek Keterangan). Dalam penulisan fiksi penting untuk memperhatikan pola kalimat. Dengan demikian, pesan tetap tersampaikan dengan jelas tanpa mengurangi kelancaran bertutur. Pentingnya melakukan swasunting juga ditekankan dalam kelas ini. Penulis sebaiknya tidak langsung dan terburu-buru mengirimkan, mengumpulkan, atau menerbitkan naskah dalam bentuk draf pertama yang baru saja selesai ditulis, sebelum layak dibagikan kepada pembaca.
Para editor lain, yakni Annisa Vira, Lidha Maul, dan Rahmayanti, turut berbagi pengalaman mereka selama menjadi bagian dari tim penyunting. Beberapa kembali menekankan pentingnya aspek teknis. Sebaiknya penulis tidak ragu untuk lebih sering membuka kamus. Annisa mencontohkan betapa kini penulis bisa dengan mudah membuka kamus digital, berbeda dengan ia di masa lalu yang mengharuskan membawa Kamus Besar Bahasa Indonesia cetak yang besar ke mana-mana. Para penulis juga diharapkan berhati-hati dalam penggunaan kosakata yang kerap disalahartikan. Banyak kosakata salah arti tetapi sudah terasa umum di masyarakat. Meski tim editor tidak menyebutkan, kata-kata yang dimaksud ini seperti: hirau (peduli) yang kerap ditafsir sebagai tidak peduli, acuh (peduli) yang juga kerap dipahami sebaliknya, atau bergeming (diam) yang sering dikira bermakna bergerak.
Bagaimana menggagas ide juga dipilih untuk disampaikan dalam pertemuan ini. Salah satu pertanyaan yang kerap muncul: dari manakah sebaiknya sebuah cerita dimulai? Tim editor menyampaikan saran sederhana untuk menjawabnya, yakni: mulailah dari satu. Satu tokoh, satu tempat, satu konflik, atau satu peristiwa. Dari ‘satu’ itu, cerita dapat berkembang, bisa menjadi tokoh kedua, ketiga, atau peristiwa lain akan hadir sesuai kebutuhan. Sebaliknya, menjejalkan terlalu banyak tokoh sejak awal yang ingin saling bersuara justru membuat cerita terasa tumpang tindih dan ‘keroyokan’. Karena itu penguatan POV (Point of View) juga dibahas dalam agenda ini.
Sementara itu, Fitri menambahkan catatannya seusai kelas inkubasi. Ia menegaskan bahwa tugas seorang editor tidak sekadar membetulkan kesalahan ketik, tetapi juga menilai kelayakan sebuah naskah untuk dipublikasikan. Dalam penjelasannya, ia menguraikan peran editor yang patut diketahui secara luas:
Tugas Utama Editor
Seorang editor bertanggung jawab memastikan naskah siap dipublikasikan. Lingkup tugas ini bervariasi, tergantung pada jenis materi (buku, artikel berita, majalah, atau konten web) serta tahapan proses editorial. Secara umum, tanggung jawab utama seorang editor meliputi:
Editorial Development (Penyuntingan Substansi):
Pada tahap ini, editor fokus pada isi dan struktur tulisan. Tugasnya antara lain:
- Menilai kelayakan naskah: apakah ide, argumen, dan isinya kuat, relevan, serta menarik bagi audiens target.
- Mengembangkan konsep: bekerja sama dengan penulis untuk menyempurnakan ide atau alur cerita.
- Mengorganisasi konten: memastikan alur tulisan logis dan koheren, termasuk menyarankan penambahan, pengurangan, atau pengaturan ulang bagian tertentu.
- Memastikan akurasi: memeriksa fakta, data, dan referensi agar informasi valid dan kredibel.
Copyediting (Penyuntingan Tata Bahasa)
- Pada tahap ini, editor meninjau naskah secara detail di level kalimat. Beberapa tanggung jawabnya meliputi:
- Memperbaiki tata bahasa, ejaan, dan tanda baca sesuai kaidah.
- Meningkatkan gaya bahasa agar tulisan lebih jelas, ringkas, dan efektif.
- Menjaga konsistensi dalam penggunaan istilah, singkatan, kapitalisasi, dan format angka.
Proofreading (Koreksi Akhir)
- Proofreading merupakan tahap terakhir sebelum publikasi, dengan fokus pada hal-hal teknis yang terlewat. Tugasnya mencakup:
- Mengoreksi kesalahan ketik.
- Memastikan format, tata letak, dan elemen visual tertata dengan benar.
- Menyempurnakan detail tanda baca, spasi, dan kapitalisasi.
Tanggung Jawab Tambahan
Selain tiga inti utama di atas, editor juga kerap menjalankan fungsi lain, seperti:
- Manajemen proyek: mengatur jadwal publikasi dan komunikasi dengan penulis, desainer, penerbit, hingga tim pemasaran.
- Manajemen tim: bagi editor senior, termasuk membimbing editor junior.
- Rewriting: jika diperlukan, melakukan penulisan ulang untuk meningkatkan kualitas naskah secara signifikan.
Singkatnya, editor berperan sebagai penjaga mutu sebuah naskah. Mereka memastikan tulisan tidak hanya bebas dari kesalahan teknis, tetapi juga memiliki alur yang solid, argumen yang meyakinkan, dan gaya bahasa yang efektif untuk menjangkau pembaca.
Masih terkait dengan upaya memperkuat cerita, tim editor juga menekankan pentingnya deskripsi yang melibatkan pancaindra. Dengan begitu, pembaca benar-benar dapat masuk ke dalam suasana cerita sekaligus mendapatkan cerita yang utuh.
Harapan BWF dan Parade Buku
Selain membahas inkubasi, Balikpapan Writers Festival (BWF) juga menyinggung pengalaman Parade Buku tahun lalu (Fashion Book, 2024) sekaligus menyampaikan harapan untuk pelaksanaan tahun ini. Kesuksesan Parade Buku tidak lepas dari peran teman-teman penulis dan sahabat BWF yang berkenan terlibat.
BWF turut menyampaikan apresiasi kepada Perpustakaan Bank Indonesia Balikpapan yang konsisten mendukung sejumlah kegiatan, termasuk kolaborasi Bebukuan. Program bulanan ini menghadirkan penulis lokal untuk membedah karya mereka. Dalam pertemuan ini juga menyampaikan bahwa pada Agustus ini, giliran buku karya Luluk Lee yang akan diulas.
Penutup
Pertemuan perdana Kelas Inkubasi Menulis Cerpen Balikpapan 2025 ditutup dengan sesi foto bersama dan menikmati kudapan. Ucapan terima kasih sebesarnya disampaikan kepada peserta yang bersedia meluangkan waktu, melakukan riset, dan menerima pembahasan terbuka atas karya mereka.
Melalui program inkubasi ini, BWF berharap lahir cerpen-cerpen yang mampu merekam Balikpapan dari sudut yang belum banyak tergali. Cerita-cerita tersebut diharapkan tidak hanya menjadi cermin bagi dinamika kota, tetapi juga memberi ruang bagi pembaca masa kini untuk melihat Balikpapan dari perspektif yang lebih beragam. Harapan lainnya, Balikpapan dapat terus bertumbuh sebagai kota literasi yang mendukung dan menyokong para penulisnya. Tabik.
*
0 Comments
Hai, bila tidak memiliki link blog, bisa menggunakan link media sosial untuk berkomentar. Terima kasih.